Jumat, Januari 11, 2008

APA SEBENARNYA ORGANISASI RAKYAT ITU?

Pelatihan Kepemimpinan Organisasi Rakyat di Manado:

KEMBALI KE MAKNA AWAL

"Apa perbedaan hakiki antara organisasi rakyat dengan organisasi lainnya, termasuk organisasi yang mendukung dan memfasilitasi mereka selama ini?"


Pertanyaan sederhana tetapi mendasar ini diajukan oleh fasilitator, Toto Rahardjo & Roem Topatimasang dari INSIST, kepada seluruh peserta Pelatihan Kepemimpinan Organisasi Rakyat yang diselenggarakan oleh Yayasan Dian Rakyat Indonesia (YDRI) dan Yayasan Lestari, tanggal 4-8 September 2007, di Mokupa Beach Resort, di tepian kota Manado, Sulawesi Utara (lihat gambar: peserta dari Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia, PMII, Cabang Manado, saat diskusi kelompok di luar ruangan untuk mempersiapkan presentasi tentang organisasi mereka kepada peserta lain).

Mengejutkan bahwa hampir semua peserta tak mampu memberikan jawaban jelas dan tegas. Hal ini semakin menguatkan praduga kami di INSIST bahwa telah terjadi pengaburan dan kerancuan makna terhadap banyak sekali peristilahan mendasar di dunia gerakan sosial di Indonesia, terutama selama beberapa tahun terakhir sejak reformasi sistem politik nasional pada tahun 1998. Salah satu sumber penyebab utamanya yang sudah dikenal luas adalah pencaplokan berbagai peristilahan tersebut oleh banyak lembaga pemerintah, bahkan juga kalangan perusahaan swasta, yang akhirnya melencengkan makna asal dan hakikinya. Reformasi sistem politik nasional Indonesia sejak tahun 1998 memang tak bisa dilepaskan sama sekali dari perkembangan internasional. Telah terjadi banyak sekali perubahan penting dalam hubungan kerjasama internasional, antara lain, desakan yang semakin kuat untuk mengubah berbagai kebijakan dan strategi pembangunan yang selama ini sangat berorientasi pada pertumbuhan ekonomi saja. Gagasan-gagasan dan cara-cara alternatif yang ditempuh oleh kalangan organisasi non pemerintah yang disepelekan sebelumnya, justru kini sangat dianjurkan. Inilah awal dari semua proses pencaplokan tersebut, termasuk melahirkan berbagai 'adonan baru' semacam Indeks Pembangunan Manusia, Tujuan-tujuan Pembangunan Millenium, dan sebagainya. Sayangnya, tidak banyak aktivis ORNOP di Indonesia yang memahami konteks perubahan ini secara kritis. Memang selalu dimunculkan dalam banyak pertemuan dan diskusi, tetapi masalahnya terulang kembali di tingkat implementasi: apa yang senyatanya dikerjakan adalah berbeda dengan apa yang selama ini diucapkan menggunakan berbagai peristilahan hebat. Inilah yang membuat kami di INSIST, dalam setiap kesempatan apapun, selalu berusaha menjernihkan kembali pengertian asal dan hakiki dari berbagai peristilahan tersebut. Termasuk ketika memfasilitasi pelatihan yang diikuti oleh 9 organisasi lokal di Sulawesi Utara ini.

Ini bukanlah tautologi (pengulangan yang tidak perlu), karena kesalahfahaman dalam pengertian mendasar suatu peristilahan atau konsep makna sesuatu akan membawa dampak kesalahan beruntun sampai ke tingkat praktik nyata dalam tindakan dan perbuatan. Pertanyaan sederhana yang sulit dijawab oleh peserta dalam pelatihan di Manado itu jelas-jelas menunjukkan tanda-tanda ke arah kemencengan berlarut-larut tersebut. Bayangkan saja, 20 orang aktivis organisasi yang mengaku telah melakukan kerja-kerja pengorganisasian dan pendidikan rakyat selama rata-rata 4-5 tahun, sulit merumuskan perbedaan mendasar antara diri mereka sendiri dengan organisasi lainnya. Terbukti kemudian bahwa dari 9 organisasi peserta tersebut, setelah dilakukan analisis rinci tentang ciri dasar organisasi rakyat yang membedakannya dengan organisasi lain, ternyata hanya 4 organisasi (Serikat Petani Karondoran, Massa Perjuangan Rakyat Lalow, Forum Masyarakat Tambosian, dan Kelompok Pecinta Lingkungan Koya) yang memenuhi hampir tolok-ukur organisasi rakyat; sementara 5 organisasi lainnya (Forum Masyarakat Taman Nasional Bunaken, Swara Wanua, Forum Masyarakat Cinta Keadilan, Suara Bobato, dan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Cabang Manado) sebenarnya lebih merupakan organisasi 'sistem pendukung' terhadap organisasi rakyat tersebut. Perbedaan tegas antara organisasi rakyat (OR) dengan organisasi pendukung organisasi rakyat (OPOR) harus semakin diperjelas agar tidak terjadi kerancuan fungsi dan peran masing-masing.

Kasus di Manado ini tidak berdiri sendiri. Secara umum dapat dikatakan bahwa gejala yang sama terjadi juga di daerah-daerah lain di Indonesia. Sebagai salah satu penganjur utama gagasan organisasi rakyat untuk gerakan perubahan sosial di Indonesia, INSIST merasa perlu bertanggungjawab untuk membantu menjernihkan pengertian-pengertian dasar ini. Seperti yang telah kami lakukan dalam pelatihan di Manado tersebut, berikut adalah beberapa unsur pokok dalam mengidentifikasi OR dan OPOR:

(1) Pendiri: siapa saja dan mengapa? OR jelas didirikan oleh warga setempat, bukan oleh orang luar. Orang atau fihak luar boleh-boleh saja membantu atau mendorong lahirnya suatu OR di suatu tempat, tetapi tidak berarti mereka lah pendiri OR itu.

(2) Keanggotaan: siapa dan apakah tercatat jelas identitas mereka? Jelas, OR adalah organisasi berbasis keanggotaan perseorangan (membership based), bukan keanggotaan organisasi, apalagi organisasi tanpa anggota sama sekali, atau mengaku punya anggota tetapi anonim. Konsekuensinya adalah bahwa OR yang benar adalah yang anggotanya jelas orangnya dan memenuhi kewajiban-kewajiban pokoknya kepada organisasi, misalnya, membayar iuran organisasi. Kerancuan banyak terjadi karena OPOR juga mengaku punya anggota, tetapi organisasi, bukan perseorangan. INSIST, misalnya, tidak memiliki anggota perseorangan, tetapi organisasi, sehingga tegas-tegas mengaku bukan OR, tetapi OPOR.

(3) Jenis & Bentuk: apa dan mengapa demikian? Akibat lanjut dari dua hal diatas, maka bentuk OR yang paling sesuai adalah organisasi keanggotaan. Dalam sistem hukum Indonesia saat ini, bentuk badan hukumnya mungkin saja Perhimpunan, Perkumpulan, atau Koperasi (Partai Politik dan Organisasi Massa juga berbasis keanggotaan perseorangan, tetapi dalam hal ini mereka masuk dalam kategori organisasi politik dengan undang-undang tersendiri). Menjadi kian jelas bahwa bentuk badan hukum Yayasan (yang tidak berbasis keanggotaan) bukan bentuk badan hukum yang sesuai dengan OR. Jika ada Yayasan yang mengaku sebagai OR atau, sebaliknya, OR berbadan hukum Yayasan, maka pasti telah terjadi kerancuan berpikir sama sekali. Badan hukum Yayasan lebih tepat untuk OPOR.

(4) Struktur & Mekanisme: seperti apa dan bagaimana? Maka, kekuasaan tertinggi dalam OR adalah pada anggota melalui mekanisme Rapat Umum Anggota atau semacamnya. Inilah yang, antara lain, membedakannya secara tegas dengan Yayasan yang kekuasaan tertingginya berada di tangan para pendiri atau Dewan Pembina. Dengan kata lain, pertangung-gugatan (accountability) tertinggi dalam OR adalah juga kepada anggotanya, bukan kepada fihak lain, termasuk lembaga-lembaga donor yang mendukung mereka (jika ada).

(5) Sumberdaya & Harta: darimana dan dalam bentuk apa? Kian jelas bahwa OR yang benar memiliki sumber pendanaan utama adalah dari anggota (iuran, dll) dan usaha mereka sendiri (boleh membentuk berbagai badan usaha sepanjang disepakati oleh Rapat Umum Anggota). Jika ada lembaga lain (sebagai OPOR) membantu pendanaan mereka, seharusnya itu dianggap hanya sebagai pelengkap, bukan yang utama.

(6) Program & Kegiatan: apa dan bagaimana? OR yang baik harus menjadikan pelayanan kepada anggota sebagai program utama mereka, bukan yang lainnya. Karena itu, OR biasanya selalu bertolak dari kebutuhan nyata dan praktis para anggotanya terlebih dahulu. Melakukan berbagai program atau kegiatan sekadar demi memenuhi persyaratan lembaga donor, misalnya, jelas-jelas mengaburkan keberadaannya sebagai OR. Program atau kegiatan semacam itu lebih sesuai dilaksanakan oleh OPOR. Tidak berarti OR tidak boleh melakukan kerjasama dengan organisasi lain, termasuk lembaga donor, tetapi haruslah dalam rangka melayani kebutuhan anggotanya sebagai tujuan utama.

Senarai ini dapat diperpanjang lagi secara lebih rinci. Tetapi, sebagai pedoman dasar, enam unsur tersebut merupakan yang terpokok dan terpenting.

0 komentar: