Rabu, Desember 12, 2007

Manusia, Kota, dan Etos Pembangunan

Oleh: Jansen H. Sinamo

To change life, we must first change space
- Henri Lefebvre, French writer

Meskipun Homo sapiens sudah jadi spesies unggul sejak 40.000 tahun yang silam tetapi kota sebagai bentuk organisasi sosial baru muncul kurang dari 10.000 tahun yang lalu. Sebelum itu, manusia hidup sebagai kelompok-kelompok nomaden yang terus bergerak sebagai pemburu dan pengumpul hasil-hasil alam untuk makanan mereka. Kelompok-kelompok itu belum memiliki pemukiman karena mereka belum sanggup melumbungkan surplus makanan secara memadai. Hidup mereka sangat marjinal: bertahan hari lepas hari melulu oleh kemurahan alam.

Namun selepas itu, di berbagai wilayah di dunia, gejala kota akhirnya muncul juga ketika jumlah anggota kelompok-kelompok nomaden itu terus bertambah dan mulai bermukim. Hal ini dimungkinkan oleh tiga faktor: ketersediaan pangan di wilayah itu, bertambah baiknya pengorganisasian kerja di dalam kelompok-kelompok itu, dan berkembangnya pertukaran komoditas atau perdagangan antarkelompok.

Ketersediaan pangan di berbagai wilayah yang disebut di atas terjadi karena iklim Bumi semakin hangat. Sesudan zaman es terakhir – diperkirakan usai sekitar 13.000 tahun silam – tanah terus menghangat sehingga memunculkan banyak tumbuhan baru, khususnya berbagai jenis tanaman pangan. Inilah awal zaman pertanian. Lumbung-lumbung dibangun untuk menampung surplus pangan itu. Hewan-hewan liar dijinakkan dan diternakkan, terutama kambing, domba, kuda, kerbau, dan sapi. Teknologi pengolahan tanah berkembang dengan memanfaatkan tenaga hewan-hewan itu. Semua itu menyumbang terhadap surplus pangan lebih lanjut. Akibatnya, pemukiman semakin berkembang dan semakin terjamin (sustainable), jumlah penduduk bertambah karena semakin cukup makan, dan ragam pekerjaan non-petani pun bertambah pula seperti seniman, ahli bangunan, ahli irigasi, tukang, pedagang, dan lain-lain. Singkatnya, proto-kota pun lahir.

Diversifikasi sosial juga muncul. Lahirlah kelas elit: para penakluk, kaum bangsawan, dan agamawan yang memerintah dan menentukan tata kehidupan bersama dalam kelompok itu. Mereka jadi kelas penguasa atas kaum tani, penata irigasi, gembala, pedagang, tukang, dan seniman. Demi keperluan hidup bersama dan kelanggengan kelas penguasa itu dibangun dan diperkenalkanlah bangunan-bangunan publik, tata upacara dan peribadahan, alat tukar, sistem perpajakan, dan metoda akumulasi kekayaan.

Pasar pun lahir. Perdagangan pun marak. Kota pun kian berkembang.

Aksara juga ditemukan, demikian pula ilmu-ilmu hitung dan ukur yang dipakai dalam perdagangan, pembangunan irigasi, pertukangan, dan pembangunan kota. Ilmu-ilmu prediktif juga muncul untuk menentukan musim tanam, musim panen, hari-hari raya, dan saat untuk berperang. Lahir pula ekspresi seni dalam arsitektur kota dan bangunan-bangunan publik. Maka kota pun semakin ramai.

Demikianlah kota Yeriko muncul di wilayah Palestina yang sekarang sekitar tahun 7000 SM yang tumbuh dari desa menjadi kota dengan sekitar 3.000 penduduk.
Antara tahun 4000-3500 SM kota besar pertama dengan populasi sekitar 25.000 muncul di wilayah Mesopotamia, di lembah sungai Tigris dan Eufrat: Babel dan Niniwe. Kotanya sudah berkubu. Rumah-rumah dibangun dengan batu-bata yang terbuat dari lempung yang dibakar. Meski jalan-jalannya naik-turun-berkelok, sempit, dan tanpa perkerasan yang memadai, mereka sudah memakai alat angkut beroda.

Di Mesir, di sepanjang lembah sungai Nil, kota sudah ada sejak tahun 3300 SM seperti Tmn-Hor, Tell al-Rub, Pr-Bastet, Hwt-ka-Ptah, To-She, Akhetaten, dan Kemet. Tetapi kita lebih tahu tentang piramid-piramid Mesir daripada kota-kota di atas.

Di India ada dua kota utama, Harappa dan Mohenjo-Daro, yang muncul sekitar tahun 2500 SM. Jalan-jalannya lurus sehingga membentuk blok-blok pemukiman berbentuk segi empat. Sudah ada sistem pembuangan sampah dan air limbah. Inilah kota pertama yang menujukan tanda-tanda pembangunan yang berencana. Barat kota adalah pusat religius, politik, dan pendidikan. Petani tinggal di luar tembok kota dekat perladangan. Kelompok miskin menempati pinggir kota tetapi masih berada di dalam tembok. Pedagang dan seniman tinggal di dekat pusat kota, sedangkan bangsawan, agamawan, dan punggawa kerajaan menempati wilayah pusat.

Di Yunani kota muncul di sekitar tahun 2000 SM seperti Sparta, Thebes, Argos, Delphi, dan Olympia. Athena jadi kota utama sekitar tahun 800 SM. Struktur kotanya berbentuk lingkaran. Jalan-jalannya berpangkal dari pusat dan memencar keluar secara radial. Bagian-bagian kota juga memencar dari pusat sehingga setiap kelompok penduduk merasa tinggal dengan jarak yang sama dari pusat kota.

Di Cina kota muncul antara tahun 2000-1500 SM seperti Chang'an, Fanyang, Jiankang, Lingzhou, Xiangyang, Yinxu, dan Zhaoge.

Kota Roma dibangun antara 700-600 SM. Kelak, ketika kekaisaran Romawi semakin berjaya Roma pun menjadi kota internasional pertama di dunia.

Di Amerika Tengah (Meksiko, Guatemala, Honduras, dan El Salvador) kota-kota mulai tampak pada sekitar tahun 200 SM.

Di Eropa kota-kota bermunculan mulai abad ke-4 dan satu per satu menjadi kota industri sejak abad ke-18. Inilah permulaan kota-kota modern yang kita kenal sampai sekarang. Sesudah itu, gejala desa yang mengalami proses kotanisasi merambah dengan cepat ke seluruh dunia. Dan urbanisasi pun menjadi sebuah gejala global. Kini dunia telah memiliki ratusan kota raksasa: metropolitan dan megapolitan.

Kota Raja, Kota Tuhan
Tidak banyak kota yang diketahui siapa arsitek pembangunannya? Hal ini wajar sebab fenomena kota sebenarnya lebih masuk akal difahami sebagai fenomena "emergence", dimana pemukiman kecil berubah jadi desa, berkembang perlahan-lahan, dan akhirnya menjadi kota; daripada fenomena arsitektur, dimana seorang arsitek agung merancang, merencanakan, dan membangun sebuah kota dari nol sampai selesai.

Tetapi ada kekecualian. Tradisi menyebutkan kota Babel dibangun oleh raja Sargon (hidup sekitar abad ke-24 SM). Neo Babel dibangun (mungkin lebih tepat diperluas dan ditata ulang) oleh raja Nebukadnezar (630-562 SM). Kitab Daniel dalam Perjanjian Lama mencatatnya sebagai berikut: "Semuanya itu terjadi atas raja Nebukadnezar; sebab setelah lewat dua belas bulan, ketika ia sedang berjalan-jalan di atas istana raja di Babel, berkatalah raja: "Bukankah ini Babel yang besar itu, yang dengan kekuatan kuasaku dan untuk kemuliaan kebesaranku telah kubangun menjadi kota kerajaan?"
Legenda juga menyebutkan Roma dibangun oleh Romulus dan menjadikannya ibukota kerajaannya.

Catatan yang lebih dapat dipertanggungjawabkan adalah kota-kota yang dibangun oleh Iskandar Agung (Alexander the Great: 356-323 SM) dalam ekspedisi penaklukannya selama sepuluh tahun. Di setiap wilayah ia meletakkan rancangan, memulai pembangunan, atau menata ulang kota yang ditaklukkannya sesuai dengan gaya dan selera seni dan arsitektur Yunani. Kota-kota yang dikaitkan dengan jenderal akbar ini antara lain Alexandria (Mesir), Iskandiriyah (Irak), Alexandria Asiana (Iran), Alexandria Ariana (Afganistan), Kandahar (Afghanistan), Alexandria Bucephalous (Pakistan), Alexandria Eschate (Tajikistan), dan Iskenderun (Turki).

Kota-kota kuno yang dibangun oleh atau atas perintah seorang raja mempunyai fungsi yang mirip: sebagai lumbung kekayaan, pusat kekuasaan, dan lambang kemuliaan, bahkan sebagai kota Tuhan. Babel atau Babylon misalnya, nama kota itu berasal dari bahasa Akkad babilu, yang berarti gerbang para dewa. Dalam paradigma kuno itu, raja umumnya dianggap sebagai representasi Tuhan, bahkan titisan Tuhan. Maka kota raja juga berarti kota Tuhan. Vatikan, Mekah, dan Yerusalem sampai hari ini tetap disebut kota suci bagi para pemeluk teguh agama-agama samawi.

Namun demikian, tidak banyak kota-kota kuno itu yang bisa bertahan hingga kini. Tiga kota yang disebut belakangan adalah sedikit yang jadi kekecualian. Kebanyakan telah runtuh dan terbenam dalam timbunan debu tebal dari abad ke abad sehingga hanya para arkeolog saja yang mampu merekonstruksinya.

Problem utama kota-kota kuno itu sehingga akhirnya ditinggalkan warganya, kosong, dan jadi reruntuhan adalah sanitasi. Tumpukan sampah dan limpasan air limbah jadi sumber berbagai penyakit menular yang membinasakan warganya. Selain itu, api yang tidak bisa dikontrol marak menjadi kebakaran besar sehingga menghanguskan seluruh kota.

Tetapi perang adalah sebab utama kehancuran kota-kota kuno. Yerusalem misalnya, dalam sejarahnya yang panjang sejak abad ke-18 SM sempat tiga kali dihancurkan: pada tahun 586 SM oleh raja Babel, Nebukadnezar; pada tahun 70 oleh penguasa Romawi di Palestina, Jenderal Titus; dan pada tahun 1480 oleh pasukan Mongol yang merambah dengan buas dari Asia Tengah.

Namun Yerusalem terhitung beruntung: ia selalu dibangun kembali. Kota-kota seperti Khartago, Sukhothai, Ayutthaya, Mohenjo-Daro, Harappa, Karakorum, Akkad, Ur, Babel, Niniwe, Persepolis, Troya, Machu Picchu, dan Pompeii kini tinggal hanya reruntuhan, bahkan hilang terbenam.

Berbeda dengan kota-kota kuno, problem kota-kota modern terutama disebabkan tekanan populasi dan manajemen kota yang buruk. Soal tekanan populasi ini dapat kita apresiasi dari data berikut ini. Jika pada sekitar tahun 8000 SM penduduk dunia hanya 100 juta, pada permulaan abad Masehi masih 300 juta, tetapi sejak abad ke-19 jumlah itu meningkat dengan sangat pesat: tahun 1800 (1 milyar), tahun 1930 (2 milyar), tahun 1962 (3 milyar), tahun 1974 (4 milyar), tahun 1987 (5 milyar), dan tahun 2000 (6 milyar). Ketika urbanisasi berlangsung justru karena daya tarik kota itu sendiri maka pada titik jenuh tertentu tekanan populasi itu mengakibatkan komplikasi berbagai masalah bagi kota tersebut dan segenap warganya.

Kota Rakyat, Kota Publik
Era kota raja dan kota Tuhan berakhir sudah. Kini kota-kota di dunia adalah kota rakyat, kota publik, atau kota warga. Artinya, kota adalah urusan publik, urusan segenap warga kota. Dikatakan tegas: setiap kota harus mampu memenuhi aspirasi dan kebutuhan warganya. Dikatakan lain: kota dinilai tidak lagi berdasarkan selera raja, selera penguasa, tetapi dinilai berdasarkan keterpenuhan aspirasi publik, yakni hidup yang berkualitas bagi segenap warga kota.

Dewasa ini, sejauh menyangkut kualitas hidup warganya, Zurich dan Jenewa adalah dua kota terbaik di dunia. Demikian hasil survei Mercer Consulting yang diterbitkan pada bulan April 2007. Vancouver menduduki nomor tiga dan berturut-turut diikuti oleh Wina, Auckland, Düsseldorf, dan Frankfurt. Penilaian itu didasarkan atas tiga puluh sembilan determinan kualitas hidup manusia yang dikelompokkan dalam sepuluh kategori sebagai berikut:
1. Political and social environment (political stability, crime, law enforcement, etc.)
2. Economic environment (currency exchange regulations, banking services, etc.)
3. Socio-cultural environment (censorship, limitations on personal freedom, etc.)
4. Health and sanitation (medical supplies and services, infectious diseases, sewage, waste disposal, air pollution, etc.)
5. Schools and education (standard and availability of international schools, etc.)
6. Public services and transportation (electricity, water, public transport, traffic congestion, etc.)
7. Recreation (restaurants, theatres, cinemas, sports and leisure, etc.)
8. Consumer goods (availability of food/daily consumption items, cars, etc.)
9. Housing (housing, household appliances, furniture, maintenance services, etc.)
10. Natural environment (climate, record of natural disasters, etc.)

Jika hal-hal di atas merupakan faktor penentu bagus tidaknya sebuah kota, maka dikatakan sebaliknya, secara negatif, maka kota yang buruk adalah kota yang...
1. fasilitas kesehatannya tidak memadai;
2. fasilitas pendidikannya tidak memadai;
3. infrastruktur dan fasilitas angkutan massalnya buruk;
4. jalan-jalan besarnya tidak memadai;
5. jalan-jalan kecil buat warga pejalan kaki tidak ada atau dibiarkan tak terawat;
6. kantong-kantong penduduk miskinnya banyak;
7. keamanannya rendah atau sudut-sudut kota tertentu keamanannya rendah;
8. kelompok-kelompok premannya yang memeras warga kota banyak;
9. keterlibatan warganya dalam memelihara fasilitas kota rendah;
10. ketersediaan air bersih, listrik, dan teleponnya rendah;
11. korupsi di jawatan-jawatan publik di kotapraja tinggi;
12. kotanya semrawut, tidak ada zonasi kota yang terencana dan tersistem;
13. peredaran dan penggunaan narkoba dan minuman keras tidak terkontrol;
14. permusuhan dan perkelahian antarkelompok warga kota tinggi;
15. sektor kumuhnya banyak;
16. tingkat kemacetannya tinggi;
17. tingkat krimininalitasnya tinggi;
18. tingkat penganggurannya tinggi;
19. tingkat polusinya tinggi; dan
20. wilayah lampu merah dan perjudiannya berkembang tidak terkontrol.

Pengembangan Kota dan Etos Pembangunan
Meskipun kota-kota modern kini adalah kota publik, urusan publik, dan bukan kota raja apalagi kota Tuhan, tapi secara politik warga kota kemudian menyerahkan tanggungjawab pemerintahan dan manajemen kota mereka kepada seorang walikota melalui proses pemilihan umum. Itu berarti walikota adalah orang yang menjadi wali-pemegang-amanah seluruh warga kota agar kota mereka dikelola menjadi kota yang baik.

Selanjutnya, proses, program, dan proyek untuk mewujudkan aspirasi seluruh warga kota itu secara teknis diserahkan kepada para kontraktor pembangunan dan pemeliharaan kota.

Tetapi secara profesional semua aspirasi warga kota di atas diserahkan kepada para arsitek. Inilah sebuah profesi yang semakin penting peranannya dalam menjawab masalah-masalah perkotaan dan pemukiman di seluruh dunia.

Tri Harso Karyono, guru besar arsitektur Universitas Tarumanagara dan peneliti utama pada Balai Besar Teknologi Energi (B2TE BPPT), Serpong, dalam artikelnya "Pemanasan Bumi dan Dosa Arsitek", di harian KOMPAS, Selasa, 11 September 2007, mengatakan: Arsitek berperan besar dalam [pemanasan] Bumi. Kekeliruan tangan arsitek akan memanaskan Bumi dan berpotensi lebih besar membasmi manusia dibandingkan dengan kemampuan teroris.

Sedemikan dahsyat peran arsitek modern bagi kehidupan manusia sebagaimana dikatakan Tri Harso Karyono di atas, maka tidak berlebihan jika peran arsitek itu dapat saya ungkapkan bagi kehidupan sebuah kota sebagai berikut: Arsitek berperan besar dalam menentukan hitam putihnya sebuah kota. Kekeliruan tangan arsitek akan menghancurkan sebuah kota dan berpotensi membuat kota itu menjadi kota setan.

Semakin krusial peranan suatu profesi dalam masyarakat, semakin penting pula profesi itu merumuskan etosnya, menegakkan etos itu, dan menghukum anggota profesi yang melanggarnya. Hanya dengan demikian sebuah profesi punya tempat yang terhormat dalam masyarakat. Sejumlah profesi sudah melakukannya: dokter, wartawan, dan pengacara. Ciri khasnya: mereka punya asosiasi profesi, dan dalam tubuh asosiasi itu terdapat sebuah dewan kehormatan sebagai mahkamah tertinggi dalam penegakan etos profesi itu.

Sekarang, marilah kita selidiki serba sedikit tentang etos ini. Dengan memeriksa sejumlah kamus, kita akan menemukan bahwa etos adalah sebuah kata yang memiliki banyak makna, antara lain: (a) esprit d'corps; (b) karakter, keyakinan, dan hakikat moral dari seseorang, sekelompok orang, atau sebuah institusi; (c) kode perilaku suatu perusahaan yang menentukan cara bagaimana mereka memperlakukan karyawannya, pelanggannya, lingkungannya, serta tanggungjawab-tanggungjawab legalnya; (d) spirit khas suatu budaya atau era; dan masih banyak lagi.

Tapi untuk keperluan seminar ini saya memilih mengartikan etos sebagai sebuah rumusan yang disepakati bersama tentang apa yang dianggap paling penting oleh sekelompok orang untuk pekerjaan (profesi) yang mereka jalankan, dan perilaku apa yang dituntut untuk mencapai hal paling penting tersebut, termasuk apa-apa yang tidak boleh dilanggar dalam pelaksanaan pekerjaan atau profesi tersebut.

Inilah definisi etos profesi yang berlaku umum untuk semua profesi seperti keguruan, kedokteran, kehakiman, kependetaan, kewartawanan, kemiliteran, kepengacaraan, dan kearsitekan.

Dan hari ini kita berbicara tentang etos kearsitekan atau etos arsitek.
Ketika kota dirumuskan oleh panitia seminar ini – yang notabene terdiri dari sejumlah arsitek muda yang idealis, kreatif, dan berwawasan luas – (1) sebagai sebuah simbolisme kosmik, (2) sebagai manisfestasi spiritualitas manusia, (3) sebagai biosfer hidup yang berkelimpahan, (4) sebagai ekosistem pengembangan manusia, (5) sebagai mandala penciptaan karya-karya yang estetik, (6) sebagai wilayah kerja yang produktif, dan (7) keragaman sosial budaya manusia urban, harus diakui bahwa aspirasi ini adalah sebuah rumusan yang ideal, luhur, dan menyeluruh.

Dengan mengandaikan bahwa konsep kota di atas sekarang diterima dan dianggap sangat penting oleh komunitas arsitek di negeri ini, maka dalam bahasa etos, idealisme tentang kota di atas – di tingkat perilaku kerja – dapat coba saya rumuskan sebagai berikut:

Etos 1: Kota adalah simbolisme kosmik; maka sebagai arsitek profesional kita wajib merancang, membangun, dan mengembangkan kota yang mengingatkan warganya bahwa kota sebagai ruang kehidupan adalah bagian dari kosmos ciptaan Tuhan yang punya desain, keteraturan, keluasan, keagungan, dan keindahan.

Etos 2: Kota adalah manisfestasi spiritualitas manusia; maka sebagai arsitek profesional kita wajib merancang, membangun, dan mengembangkan kota yang mampu membuat seluruh warganya merasa terhubungkan satu sama lain, yang merasa menyatu dengan lingkungannya, serta memetik makna, identitas, dan kebanggaan daripadanya sehingga menumbuhkan rasa cinta pada kotanya.

Etos 3: Kota adalah biosfer hidup yang berkelimpahan; maka sebagai arsitek profesional kita wajib merancang, membangun, dan mengembangkan kota yang lapang, longgar, lancar, bersih, hijau, berlimpah dengan air segar dan udara murni, serta bebas dari sampah maupun limbah.

Etos 4: Kota adalah ekosistem bagi pertumbuhan manusia yang sehat; maka sebagai arsitek profesional kita wajib merancang, membangun, dan mengembangkan kota yang cukup ruang untuk bermukim, bekerja, belajar, bermain, berekreasi, beribadah, berolahraga, berkesenian, dan berkebudayaan.

Etos 5: Kota adalah mandala penciptaan karya-karya yang estetik; maka sebagai arsitek profesional kita wajib merancang, membangun, dan mengembangkan kota yang secara keseluruhan dinilai sebagai indah, termasuk bagian-bagiannya, unit-unitnya, dan detail-detailnya sehingga mampu memuaskan cita rasa seluruh warga kota secara sensual-indrawi, intelektual-karsawi, dan spiritual-rohani.

Etos 6: Kota adalah lapangan kerja yang produktif; maka sebagai arsitek profesional kita wajib merancang, membangun, dan mengembangkan kota yang mampu menyediakan cukup ragam mata pencaharian bagi segenap warganya: dari jenis pekerjaan yang cuma mengandalkan otot, keringat, dan fisik sampai jenis pekerjaan yang mengandalkan imajinasi, kreativitas, dan inovasi.

Etos 7: Kota adalah wahana keragaman sosial-budaya manusia urban; maka sebagai arsitek profesional kita wajib merancang, membangun, dan mengembangkan kota yang mampu menyediakan ruang untuk ekspresi keragaman sosial-budaya itu, interaksi sinergis dalam pluralisme itu, serta kultur apresiatif dalam kebhinekaan itu.

Sesungguhnya perumus etos suatu profesi haruslah orang dalam profesi itu. Demikian pula etos arsitek haruslah dirumuskan oleh para arsitek itu sendiri. Orang seperti penulis makalah ini, meski pun sering dijuluki media sebagai mister etos atau guru etos, paling banter bisa berperan sebagai konsultan saja.

Sebagai penutup, izinkanlah saya meninggalkan sebuah saran: panitia seminar ini perlu sesegera mungkin berkoordinasi dengan Ikatan Arsitek Indonesia guna merumuskan sehimpunan etos arsitek yang luhur, menyeluruh, inspirasional, dan motivasional sehingga pada satu waktu nanti kita akan melihat kota-kota di republik ini sungguh-sungguh menjadi kota-kota yang "gemah ripah loh jinawi, tata tentrem karta raharja".

Apa yang saya rumuskan di atas adalah sebuah percobaan dan harus dianggap sebagai sebuah masukan saja. Terimakasih dan selamat berseminar.

0 komentar: